Rabu, 14 Januari 2009

Mengendalikan Inflasi, Ciptakan Stabilitas Upah

Setiap ada guncangan pada dunia usaha, buruh menjadi ”sasaran” pertama yang diutak-atik. Dua bulan terakhir, rencana mengendalikan upah minimum demi mencegah agar perusahaan berorientasi ekspor tidak kolaps telah memicu polemik. Upaya itu sulit diterima, apalagi jika inflasi terus membubung dan rupiah melemah.

Seharusnya, pemerintah menjadikan pengendalian tingkat inflasi sebagai kunci utama untuk memenuhi permintaan pengusaha agar upah buruh tidak naik setiap tahun.

Menurut Badan Pusat Statistik, Senin (1/12), inflasi Januari-November mencapai 11,1 persen. Adapun untuk periode November 2008 dibandingkan November 2007 sudah 11,6 persen.

Inflasi terutama didorong oleh naiknya harga kebutuhan pokok, seperti beras atau minyak goreng. Ini faktor yang memengaruhi kenaikan nilai kebutuhan hidup layak (KHL).

Peraturan Mennakertrans Nomor Per-17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, yang ditetapkan 26 Agustus 2005, KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik fisik, nonfisik, dan sosial, selama satu bulan.

Seorang pekerja dianggap hidup layak jika upahnya mampu memenuhi kebutuhan 3.000 kalori per hari. Oleh karena itu, KHL menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum, selain produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Ada tujuh komponen KHL yang selalu dihitung, yaitu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan.

Makanan dan transportasi

Komponen utama yang selalu berubah dan menyebabkan nilai UMP selalu naik adalah makanan, minuman, dan transportasi. Inflasi menjadi penyebab ketiga faktor ini selalu berubah.

Apabila tingkat inflasi tetap, nilai KHL tentu relatif stabil dari tahun ke tahun. Dengan demikian, nilai KHL tahun berjalan yang dihitung dewan pengupahan sebelum menentukan upah minimum tahun berikutnya pun menjadi relatif stabil.

Menurut Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Yanuar Rizky, persoalan krusial saat ini adalah pemerintah tidak mampu mengendalikan inflasi. Harga kebutuhan pokok selalu naik.

”Pemerintah seharusnya menyentuh inti masalah, yaitu pengendalian inflasi. Upah hanyalah anak masalah, yang ditahan bagaimana pun kalau inflasi tinggi tak akan menyelesaikan konflik,” tutur Yanuar.

Inflasi yang terkendali akan membuat tujuh komponen penentu KHL menjadi lebih stabil.

Pemerintah sebenarnya memang sudah berupaya mengendalikan harga beras lewat operasi pasar dan instrumen pelayanan umum Perum Bulog. Namun, inflasi karena kenaikan ongkos transportasi telah membuat nilai KHL tetap tinggi.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya terus mencari jalan mengendalikan KHL lewat harga pasar.

Upaya mengendalikan kenaikan upah minimum hanya akan membentur tembok. Bukan rahasia lagi kalau sejak krisis 1998 buruh belum pernah menikmati upah sesuai KHL.

Tahun 2008, baru tiga provinsi yang menetapkan upah minimum sesuai KHL, yakni Sumatera Utara (105 persen), Kalimantan Selatan (104 persen), dan Sulawesi Tenggara (109,3 persen). Masih banyak provinsi yang menetapkan upah minimum di bawah KHL, seperti Sumatera Selatan (67,5 persen) dan Jawa Timur (98,6 persen).

Kondisi ini membuat buruh selalu menantikan besaran kenaikan upah minimum provinsi setiap akhir tahun. Walau secara riil nilai upah mereka tidak naik, kenaikan nominal upah yang diterima sudah cukup melegakan hati kaum buruh.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban mengatakan, wakil serikat buruh di dewan pengupahan daerah selalu memperjuangkan agar upah minimum disetarakan dengan nilai KHL. Namun, kondisi perekonomian yang belum menggembirakan seperti sekarang menyebabkan kenaikan upah minimum yang disepakati belum sesuai harapan.

”Itu sebabnya kami minta agar jangan upah buruh yang dikurangi bila ada masalah ekonomi. Lebih baik pemerintah konsentrasi memperbaiki berbagai hal yang menyebabkan iklim investasi terganggu,” ujarnya.

Pengawasan

Kondisi itu membuat buruh sulit merelakan upah minimum mereka yang di bawah KHL dipotong lagi di saat krisis.

Kepercayaan buruh terhadap pengusaha pun rendah karena sebagian pengusaha tidak membayar utuh dan enggan menyertakan mereka dalam Jamsostek.

Menurut Rekson, lemahnya pengawasan ketenagakerjaan menyebabkan banyak praktik penyimpangan terhadap hak-hak buruh, terutama pembayaran upah dan kepesertaan Jamsostek. Padahal, dua hal itu diatur undang-undang. Pihak yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana.>w 9738m<

”Jika selama ini buruh dikhianati hak-haknya, bagaimana mereka mau ikut berkorban di saat sulit seperti sekarang. Sekarang tinggal bagaimana sikap pemerintah saja,” kata Rekson.

Buruh melihat upah minimum sebagai harga mati karena implementasinya sering menyalahi aturan. Semestinya, upah minimum hanya untuk buruh lajang yang baru bekerja. Namun, ada pengusaha yang menjadikan upah minimum sebagai acuan penetapan gaji buruh.

Jika buruh tersebut berstatus karyawan tetap, tentu lambat laun sesuai masa kerja dia seharusnya mengalami kenaikan upah, mengikuti inflasi. Namun, bagaimana jika dia hanya buruh kontrak yang harus siap tak dipakai lagi tahun depan?

Lemahnya pengawasan menyebabkan buruh selalu menjadi bulan-bulanan. Meski demikian, buruh tak mampu berbuat banyak karena potensi menjadi penganggur baru selalu ”mengancam” setiap saat.

Menurut laporan ketenagakerjaan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO), berjudul ”Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2008”, sedikitnya 52,1 juta orang dari 108 juta pekerja tak mampu keluar dari jurang kemiskinan.

Mereka menerima upah kurang dari 2 dollar AS per hari, atau hanya kurang dari Rp 20.000 per hari. Ini tentu jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, mereka harus menerima keadaan itu karena tak ada pilihan pekerjaan lain yang lebih layak.

Akan tetapi, menurut Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit, perusahaan yang masih memiliki kemampuan selama krisis global saat ini tetap memberikan upah yang layak kepada buruh.

Hanya saja, kata Anton, kondisi krisis sudah ada di depan mata. Semua orang harus segera mempersiapkan diri agar tidak menjadi korban.

Anton mengatakan, pengusaha industri berorientasi ekspor dengan bahan baku impor meminta sedikit kerelaan buruh agar bersedia menunda atau tidak menaikkan sama sekali upah minimum tahun 2009.

”Kalau industri yang kekurangan order pun dipaksa menaikkan upah minimum, bisa-bisa mereka kolaps dan terjadi PHK. Kondisi sekarang sudah demikian parah. Data resmi PHK memang belasan ribu, tetapi kami yakin yang riil di lapangan sudah ratusan ribu orang,” ujar Anton.

Kini, buruh bagai makan buah simalakama. ”Dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu”.

Kamis, 08 Januari 2009

Siapa Bilang Harga Makin Murah?

Penurunan harga solar pada Desember 2008 belum berpengaruh banyak pada harga kebutuhan pokok. Soalnya, harga di tingkat konsumen harga kebutuhan masih tetap tinggi.

"Minyak goreng curah di Pasar Bekasi saya belanja semalam masih Rp 8.500 satu kilogram. Lebih mahal, padahal kalau di warung dekat rumah itu ada yang sudah Rp 7.500 satu kilogramnya," kata Timbrung, penjual sayur keliling di daerah Bekasi Selatan, Kamis (8/1).

Harga telur ayam, menurut dia, justru sekarang mengalami kenaikan menjadi Rp 14.000 per kilogram (kg) setelah sempat turun ke harga Rp 12.000 per kg beberapa saat setelah harga solar diturunkan dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 4.800 per liter.

Harga sayur-mayur, ia mengatakan, saat ini memang sedang mahal karena masuk musim penghujan. Tomat dijual dengan harga Rp 1.000 per buahnya. Sedangkan, sawi caisin dijual dengan harga Rp 2.000 untuk tiga ikat.

Selain itu, harga kebutuhan bahan makanan yang masih tinggi adalah ikan. Harga ikan belum pernah mengalami penurunan sejak harga solar diturunkan, justru dengan kondisi angin barat harganya semakin naik.

Ia mengaku menjual udang kecil Rp 11.000 untuk 250 gram. Sedangkan, untuk ukuran sedang hargamya Rp 50.000 per kg, ikan tuna ukuran kecil Rp 32.000 per kg.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat M Sinaga, harga minyak goreng curah yang wajar di tingkat pengecer saat ini seharusnya Rp 7.100 per kg.

Alasannya, harga di tingkat produsen minyak goreng curah saat ini hanya Rp 5.900 hingga Rp 6.000 per kg. Dengan penambahan biaya distribusi dan keuntungan sekitar Rp 1.100 per kg seharusnya harga minyak goreng curah mencapai Rp 7.100 per kg.

Dengan kenaikan harga CPO beberapa hari terakhir yang pada hari Rabu (7/1) di Rotterdam mencapai 610 dollar AS per ton dan di Malaysia mencapai 2.000 ringgit Malaysia per ton, ia mengatakan, harga minyak goreng curah tersebut masih relevan.

Ia mengatakan, rencana pemerintah menurunkan harga minyak goreng akan sulit tercapai dengan cara memberi stimulus PPN nol persen pada sawit. Karena, pihak prosesor selama ini membeli CPO melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB) dengan acuan harga Rotterdam dan Malaysia dan menggunakan dollar AS.

Sahat menambahkan pembuatan produk minyak goreng kemasan yang direncanakan pemerintah justru akan lebih bermanfaat karena harga dan volume mudah dikontrol.
XVD
Sumber : Ant

Senin, 05 Januari 2009

BEI 2009, Momen Cari Kesetimbangan Baru

Pasar saham Amerika Serikat membuka hari pertama perdagangannya pada tahun 2009, pada Jumat (3/1), langsung melejit. Demikian juga bursa saham Asia yang mayoritas menguat pada awal tahun 2009 ini.
Bagaimana dengan Bursa Efek Indonesia (BEI)? Setelah pada tahun 2008 menjadi antiklimaks bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang selama 6 tahun berturut-turut telah berada pada tren menguat.
Awal tahun ini, selain dari faktor regional dan Wall Street, pasar juga menanti kebijakan Bank Indonesia mengenai BI Rate serta pengumuman inflasi dari Badan Pusat Statistik, seiring penurunan harga bahan bakar minyak, yang yang bersubsidi maupun nonsubsidi pada bulan Desember 2008.
"Kami perkirakan BI akan kembali menurunkan suku bunga sebagai langkah untuk menggairahkan perekonomian, menyusul melemahnya tekanan inflasi," sebut analis PT Panin Sekuritas Purwoko Sartono.
Tahun 2009, menurutnya, meski pasar saham global masih dalam tren bearish (turun), saat ini merupakan momen bagi pasar saham untuk mencari kesetimbangan baru (opportunity).
"Investor global akan mencermati langkah dan kebijakan yang akan diambil Presiden Amerika Serikat yang baru, Barrack Obama, terkait mengatasi krisis ekonomi ini. Selain itu, investor dalam negeri juga akan memerhatikan pengaruh beberapa agenda politik seperti pemilu yang akan digelar tahun 2009," ujarnya.
Ia perkirakan pasar finansial global masih akan bergerak flat dengan kecenderungan melemah pada beberapa bulan ke depan. "Karena perekonomian dunia diperkirakan baru akan membaik awal 2010, sehingga diperkirakan pasar modal, sebagai leading indicator, akan pulih pada 1H-09," jelasnya.
Wall Street Jumat lalu, mantap di zona hijau, meski berbagai indikator ekonomi AS menunjukkan pelemahan. Indeks Dow Jones Industrial Average melonjak 258,30 persen (2,94 persen) ke posisi 9.034,69. Indeks 30 saham blue chips ini, terakhir ditutup di atas level 9.000 saat 5 November 2008, pada 9.139,27.
Kemudian indeks Standard & Poor’s 500 bertambah 28,55 poin, (3,16 persen) pada 931.80. Juga penutupan tertinggi sejak 5 November 2008. Serta indeks komposit Nasdaq meningkat 55,18 poin (3,50 persen) ke 1.632,21.
Secara keseluruhan pekan lalu Dow meningkat 6,1 persen, S&P 500 melonjak 6,8 persen, serta Nasdaq menguat 6,7 persen.