Apa yang kita harapkan untuk makan malam kita, tidaklah datang dari keajaiban dari si tukang daging, pemasak bir atau si tukang roti, melainkan dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan pribadi. Malah seseorang umumnya tidak tidak berkeinginan untuk memajukan kepentingan publik dan ia juga tidak tahu sejauh mana ia memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia hormati dan kejar hanyalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia dituntun oleh tanga-tangan tak terlihat (the invisible hands) untuk mengejar tujuan yang bukan merupakan bagian dari kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan merupakan bagian dari masyarakat, itu tidak lantas berarti sesuatu yang lebih buruk bagi masyarakat. dengan mengejar kepentingan sendiri, ia kerapkali memajukan kepentingan masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan jika ia sungguh-sungguh bermaksud memajukannya. Saya tidak pernah menemukan kebaikan yang dilakukan mereka yang sok berdagang demi kebaikan publik (Smith, 1937:14).
Setiap jam 2 siang Sutiyem (61) sudah bersiap-siap menggelar dagangannya, minyak goreng dalam penggorengan siap dianaskan diatas kompor minyak tanah di dalam dapur rumahnya yang berukuran 2X3. begitu juga dengan adonan tepung sudah siap pula, setandan pisang tergelak di sampingnya, adonan bakwan bahkan sudah selesai dari tadi pagi, begitu juga ubi kayu yang sudah dipersiapkan sejak kemarin sore. Hari ini untuk kesekian harinya Sutiyem menjual gorengan di daerah Stasiun Lempunyangan Yogyakarta.
Setiap hari menjual gorengan, tidak hanya untuk mencari nafkah namun juga membantu orang lain katanya. “membantu kalau ada orang yang lapar tapi malas makan nasi, orang yang sekedar isi perut atau orang yang tidak punya uang cukup untuk membeli sepiring nasi”. Hal ini sudah hampir 20 tahun dilakukan Sutiyem. “saya ini hanya seorang penjual gorengan yang tak mau mencari apa-apa, yang jelas saya dan suami bisa makan dan bisa bayar ;isatrik di rumah itu sudah cuku” ujarnya. Ketika ditanya bagaimana ankanya, Sutiyem hanya bisa tersenyum miris dengan pandangan mata nanar “anak-anak ikut progaram transmigaran semua mas, jarang pulang”. Dalam sehari Sutiyem mendapatkan pengahasilan kotor Rp. 10 ribu samapi Rp. 30 ribu.
Dengan jumlah penghasilan yang begitu kecil Sutiyem tetap bisa survive untuk bertahan hidup. Kalau di hitung-hitung satu gorengan saja Sutiyem menjual dengan harga Rp. 200, banyak atau tidak permintaan, laris atau tidak, harganya tetap segitu saja. Sutiyem mengaku dulu awal tahun 2000, dia menjual gorengan dengan harga Rp. 50, harga Rp. 200 ini dimulai baru-baru ini saja semenjak naiknya harga minyak tanah yang ia tak tahu kenapa, sebuah harga yang sangat murah di zaman sekarang. Hampir setiap kota besar di pualu Jawa ini, harga satu Gorengan di kaki lima saudah mencapai Rp. 500 sampai Rp. 1.000, belum lagi kalau gorengannya sudah di modifikasi sedemikian rupa seperti yang dijual salah seorang artis ibukota.
Tampakya sebuah zaman yang telah menglobal belum mengenal orang seperti Sutiyem dan Sutiyem tak mengenal globalisasi. Sutiyem tak mengenal konsep marketing yang canggih, Sutiyem tak mengenal istilah pembukuan, Sutiyem tak mengenal konsep pasar, pasar bagi Sutiyem adalah pasar bebas (dalam arti sebenarnya), bebas berjualan dimana, tanpa harus ada Quota, standarisasi ISO, ataupun peraturan-peraturan yang tak jels apa mamfaatnya bagi pedagang kecil seperti Sutiyem. Dengan begitu kita bisa minikmati sepotong goreng pisang dengan harga yang sangat murah, bisa membuat perut kenyang dengan memakan dua potong saja. Begitulah Sutiyem tak mengenal Neo-Liberalisme dan begitu juga sebaliknya Neo-Liberalisme tak mengenal Sutiyem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar